ULAR
Ular merupakan salah satu reptil yang paling sukses berkembang di dunia. Di gunung, hutan, gurun, dataran rendah, lahan pertanian, lingkunganpemukiman, sampai ke lautan, dapat ditemukan ular. Hanya saja, sebagaimana umumnya hewan berdarah dingin, ular semakin jarang ditemui di tempat-tempat yang dingin, seperti di puncak-puncak gunung, di daerah Irlandia dan Selandia baru dan daerah daerah padang salju atau kutub.
Banyak jenis-jenis ular yang sepanjang hidupnya berkelana di pepohonan
dan hampir tak pernah menginjak tanah. Banyak jenis yang lain hidup
melata di atas permukaan tanah atau menyusup-nyusup di bawah serasah
atau tumpukan bebatuan. Sementara sebagian yang lain hidup akuatik atau
semi-akuatik di sungai-sungai, rawa, danau dan laut.
Ular memangsa berbagai jenis hewan lebih kecil dari tubuhnya. Ular-ular
perairan memangsa ikan, kodok, berudu, dan bahkan telur ikan. Ular pohon
dan ular darat memangsa burung, mamalia, kodok, jenis-jenis reptil yang
lain, termasuk telur-telurnya. Ular-ular besar seperti ular sanca
kembangdapat memangsa kambing, kijang, rusa dan bahkan manusia.
Kebiasaan dan Reproduksi
Ular memakan mangsanya bulat-bulat; artinya, tanpa dikunyah menjadi
keping-keping yang lebih kecil. Gigi di mulut ular tidak memiliki fungsi
untuk mengunyah, melainkan sekedar untuk memegang mangsanya agar tidak
mudah terlepas. Agar lancar menelan, ular biasanya memilih menelan
mangsa dengan kepalanya lebih dahulu.
Beberapa jenis ular, seperti sanca dan ular tikus, membunuh mangsa
dengan cara melilitnya hingga tak bisa bernapas. Ular-ular berbisa
membunuh mangsa dengan bisanya, yang dapat melumpuhkan sistem saraf
pernapasan dan jantung (neurotoksin), atau yang dapat merusak peredaran
darah (haemotoksin), dalam beberapa menit saja. Bisa yang disuntikkan
melalui gigitan ular itu biasanya sekaligus mengandung enzim pencerna,
yang memudahkan pencernaan makanan itu apabila telah ditelan.
Untuk menghangatkan tubuh dan juga untuk membantu kelancaran pencernaan, ular kerap kali perlu berjemur (basking) di bawah sinar matahari.
Kebanyakan
jenis ular berkembang biak dengan bertelur. Jumlah telurnya bisa
beberapa butir saja, hingga puluhan dan ratusan butir. Ular meletakkan
telurnya di lubang-lubang tanah, gua, lubang kayu lapuk, atau di bawah
timbunan daun-daun kering. Beberapa jenis ular diketahui menunggui
telurnya hingga menetas; bahkan ular sanca ‘mengerami’ telur-telurnya.
Sebagian ular, seperti ular kadut belang, ular pucuk dan ular bangkai
laut ‘melahirkan’ anak. Sebetulnya tidak melahirkan seperti halnya
mamalia, melainkan telurnya berkembang dan menetas di dalam tubuh
induknya (ovovivipar), lalu keluar sebagai ular kecil-kecil.
Sejenis ular primitif, yakni ular buta atau ular kawat Rhampotyphlops braminus,
sejauh ini hanya diketahui yang betinanya. Ular yang mirip cacing kecil
ini diduga mampu bertelur dan berbiak tanpa ular jantan (partenogenesis).
Ular dan Manusia
Dalam kitab-kitab suci, ular kebanyakan dianggap sebagai musuh manusia.
Dalam Alkitab (Perjanjian Lama) diceritakan bahwa Iblis menjelma dalam
bentuk ular, dan membujuk Hawa dan Adam sehingga terpedaya dan harus
keluar dari Taman Eden. Dalam kisah Mahabharata, Kresna kecil sebagai
penjelmaan Dewa Wisnu mengalahkan ular berkepala lima yang jahat. Dalam
salah satu Hadits Rasulullah saw. pun ada anjuran untuk membunuh ‘ular
hitam yang masuk/berada di dalam rumah’.
Anggapan-anggapan ini, bagaimanapun, turut berpengaruh dan menjadikan
kebanyakan orang merasa benci, jika bukan takut, kepada ular. Meskipun
sesungguhnya ketakutan itu kurang beralasan, atau lebih disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan orang umumnya terhadap sifat-sifat dan bahaya yang
mungkin ditimbulkan oleh ular. Pada kenyataannya, kasus gigitan ular
–apalagi yang sampai menyebabkan kematian– sangat jauh lebih sedikit
jika dibandingkan dengan kasus kecelakaan di jalan raya, atau kasus
kematian (oleh penyakit) akibat gigitan nyamuk.
Pada pihak yang lain, ular pun telah ratusan atau ribuan tahun
dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh manusia. Ular kobra yang amat
berbisa dan ular sanca pembelit kerap digunakan dalam
pertunjukan-pertunjukan keberanian. Empedu, darah dan daging beberapa
jenis ular dianggap sebagai obat berkhasiat tinggi, terutama di Tiongkok
dan daerah Timur lainnya. Sementara itu kulit beberapa jenis ular
memiliki nilai yang tinggi sebagai bahan perhiasan, sepatu dan tas.
Seperti halnya biawak, kulit ular (terutama ular sanca, ular karung, dan
ular anakonda) yang diperdagangkan di seluruh dunia mencapai ratusan
ribu hingga jutaan helai kulit mentah pertahun.
Dalam kenyataannya, ular justru kini semakin punah akibat aneka
penangkapan, pembunuhan yang tidak berdasar, serta kerusakan habitat dan
lingkungan hidupnya. Ular-ular yang dulu turut serta berperan dalam
mengontrol populasi tikus di sawah dan kebun, kini umumnya telah habis
atau menyusut jumlahnya. Maka tidak heran, di tempat-tempat yang sawah
dan padinya rusak dilanda gerombolan tikus, seperti di beberapa tempat
di Kabupaten Sleman, Jogjakarta, petani setempat kini memerlukan untuk
melepaskan kembali (reintroduksi) berjenis-jenis ular sawah dan melarang
pemburuan ular di desanya.
Ular tidak memiliki daun telinga dan gendang telinga, tidak mempunya
keistimewaan ada ketajaman indera mata maupun telinga. Matanya selalu
terbuka dan dilapisi selaput tipis sehingga mudah melihat gerakan
disekelilingnya, sayangnya ia tidak dapat memfokuskan pandangnnya. Ular
baru dapat melihat dengan jelas dalam jarak dekat.
Indera yang menjadi andalan ular adalah sisik pada perutnya, yang dapat menangkap getaran langkah manusia atau binatang lainnya.
Lubang yang terdapat antara mata dan mulut ular dapat berfungsi sebagai
thermosensorik (sensor panas) - organ ini biasa disebut ceruk atau organ
Jacobson. Ular juga dapat mengetahui perubahan suhu karena kedatangan
mahluk lainnya, contohnya ular tanah memiliki ceruk yang peka sekali.
Manusia sebenarnya tidak usah takut pada ular karena ular sendiri yang
sebenarnya takut pada manusia. Ular tidak dapat mengejar manusia,
gerakannya yang lamban bukan tandingan manusia. Rata rata ular bergerak
sekitar 1,6 km per jam, jenis tercepat adalah ular mambaa di Afrika yang
bisa lari dengan kecepatan 11 km per jam. Sedangkan manusia, sebagai
perbandingan, dapat berlari antara 16-24 km per jam.
Habitat dan Makanan
Ular
merupakan salah satu reptil yang paling sukses berkembang di dunia. Di
gunung, hutan, gurun, dataran rendah, lahan pertanian,
lingkunganpemukiman, sampai ke lautan, dapat ditemukan ular. Hanya saja,
sebagaimana umumnya hewan berdarah dingin, ular semakin jarang ditemui
di tempat-tempat yang dingin, seperti di puncak-puncak gunung, di daerah
Irlandia dan Selandia baru dan daerah daerah padang salju atau kutub.
Banyak
jenis-jenis ular yang sepanjang hidupnya berkelana di pepohonan dan
hampir tak pernah menginjak tanah. Banyak jenis yang lain hidup melata
di atas permukaan tanah atau menyusup-nyusup di bawah serasah atau
tumpukan bebatuan. Sementara sebagian yang lain hidup akuatik atau
semi-akuatik di sungai-sungai, rawa, danau dan laut.
Ular
memangsa berbagai jenis hewan lebih kecil dari tubuhnya. Ular-ular
perairan memangsa ikan, kodok, berudu, dan bahkan telur ikan. Ular pohon
dan ular darat memangsa burung, mamalia, kodok, jenis-jenis reptil yang
lain, termasuk telur-telurnya. Ular-ular besar seperti ular sanca
kembangdapat memangsa kambing, kijang, rusa dan bahkan manusia.
Berikut adalah beberapa jenis ular yang kita kenal :
Ular kawat
Ular
kawat merupakan sejenis ular yang terkecil di dunia. Nama ilmiahnya
adalah Ramphotyphlops braminus (Daudin, 1803). Sementara nama-namanya
dalam bahasa lain adalah common blindsnake, Brahminy blindsnake,
flowerpot snake, bootlace snake (Eng.); ular kawat, ular cacing (Ind.),
ular duwel .
Identifikasi
Ular
kawat bertubuh amat kecil, nampak berkilau seperti sepotong kawat kecil
kehitaman. Panjang tubuh hingga 175 mm, akan tetapi jarang yang lebih
panjang dari 15 cm. Kebanyakan malah sekitar 10 cm atau kurang.
Tubuhnya
berwarna hitam, kehitaman, kecoklatan, atau abu-abu kebiruan. Umumnya
lebih gelap di bagian dorsal (punggung) dan lebih muda di sisi ventral
(perut). Ekornya amat pendek dan pada ujungnya terdapat runcingan serupa
duri. Terkadang kedua ujungnya (kepala dan ekor) berwarna lebih muda
atau keputihan.
Matanya tersembunyi dan hanya nampak sebagai bintik gelap samar-samar di
balik sisik kepalanya. Oleh sebab itu, dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai blind snake (ular buta). Sisik-sisik yang menutupi bagian tengah
tubuh tersusun dalam 20 deret, amat halus dan serupa saja bentuknya di
bagian dorsal maupun ventral.
Kebiasaan dan ekologi
Ular
ini sangat mirip cacing, baik ukuran tubuh maupun perilakunya. Sering
ditemukan di bawah perabotan rumah, di balik pot-pot tanaman dan di
halaman, di bawah batu dan kayu-kayu busuk, ular ini dengan segera
menggelepar seperti cacing bila terusik. Namun bila diamati dengan
seksama, terlihat ular ini memiliki sisik yang berkilau dan kulitnya
tidak berlendir.
Ular
kawat menggemari tempat-tempat yang sedemikian untuk mencari mangsanya
yang berupa telur-telur semut, rayap dan berbagai serangga kecil
lainnya. Mulutnya begitu kecil, dan hanya cukup untuk menelan mangsanya
yang juga amat kecil. Karena itu adanya sangka-sangkaan orang bahwa ular
kawat termasuk semacam ular yang amat berbisa dan dapat mematikan
manusia hanyalah mitos yang tidak berdasar. Ular ini bahkan tidak mampu
menggigit orang.
Ular
ini diduga berbiak secara partenogenesis, yakni telurnya berkembang
menjadi individu ular tanpa dibuahi oleh ular jantan. Dugaan ini muncul
karena semua spesimen ular ini yang berhasil dikumpulkan ternyata
teridentifikasi dengan kelamin betina (Tweedie, 1983). Sejenis ular lain
yang juga diketahui memiliki kemampuan partenogenesis adalah ular
karung Papua (Acrochordus arafurae).
Kebiasaan ular ini yang hidup di bawah tanah (fossorial), ukurannya yang
amat kecil, dan kemampuan partenogenesisnya, menjadikan ular kawat ini
mudah tersebar luas; populasinya dapat terbentuk hanya dengan satu
spesimen ular yang terbawa dalam tanah pada pot tanaman.
Penyebaran
Penyebaran
ular ini amat luas: Afrika (Zanzibar, Tanzania, Mozambique, Somalia,
Kamerun, Benin, Togo, Pantai Gading). Madagaskar, kepulauan-kepulauan
Comoro, Mascarenes, Seychelles, Mauritius, Reunion, Rodrigues.
Asia
tropis (Arab, Persia, India, Srilanka, Myanmar, Muangthai, Indochina,
Tiongkok selatan, Jepang selatan, Hongkong, Taiwan, Filipina,
Semenanjung Malaya, dan kepulauan-kepulauan di Samudera Hindia).
Pasifik (Guam, Solomon, New Caledonia, Hawaii), Meksiko, Guatemala dan Hindia Barat.
Di Indonesia ular kawat menyebar di seluruh kepulauan.
Jenis yang berkerabat
Ada
beberapa banyak spesies ular kawat lainnya dari marga Typhlops di
Indonesia barat, Cyclotyphlops di Sulawesi dan Acutotyphlops di Papua.
Kerabat dekat ular kawat, yakni Ramphotyphlops lineatus (Schlegel,
1839), memiliki panjang tubuh sampai sekitar 48 cm dan menyebar dari
Thailand, Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatra, Nias, Kalimantan, Jawa
barat dan tengah.
Ular kepala-dua
Ular
kepala-dua adalah sejenis ular primitif yang tidak berbisa. Dinamai
demikian, karena perilakunya manakala merasa terganggu, ular ini
menegakkan ekornya seolah-olah di situlah letak kepalanya pada
kenyataannya kepala yang sesungguhnya disembunyikannya di bawah gulungan
badannya.
Ular
ini juga dikenal dengan nama-nama lain seperti, oray totog atau oray
teropong (Sd.), majara (Toraja), ular gelenggang, dan lain-lain. Dalam
bahasa Inggris disebut dengan nama Red-tailed Pipe Snake atau Common
Pipe Snake, sementara nama ilmiahnya adalah Cylindrophis ruffus
(Laurenti, 1768).
Pemerian
Ular
yang bertubuh silindris (cylindrophis; Gr. kylinder, batang penggiling,
dan ophis, ular), dengan ekor amat pendek dan hampir tak terbedakan
dengan kepala. Kepala dan ekor sama-sama tumpul. Panjang tubuh dapat
mencapai 90 cm, akan tetapi agak jarang yang melebihi 50 cm.
Tubuh
bagian atas (dorsal) berwarna hitam, dengan belang-belang merah jingga
di kanan-kirinya (ruffus; salah tulis dari kata rufus, kemerahan).
Kepala dan ekor berwarna merah jingga dengan noda-noda hitam.
Warna-warna cerah ini sering memudar atau menghilang dengan bertambahnya
umur dan ukuran tubuh ular, sehingga ular nampak dominan kehitaman.
Sisi bawah tubuh (ventral) hitam dengan belang-belang putih, setidaknya
sebagian tersusun berseling seperti papan catur. Sisi bawah ekor
kemerahan, menyebabkannya sering disangka sebagai ular cabe (Maticora
intestinalis) yang berbisa.
Sisik-sisik di sisi ventral tidak terbedakan (tidak melebar) dari
sisik-sisik dorsal. Sisik ventral 186-222, sisik anal berbelah, sisik
subkaudal (bawah ekor) 5-7 buah, dan sisik dorsal dalam 19-21 deret di
tengah badan.
Kebiasaan
Ular
kepala-dua umumnya ditemukan di dataran rendah, meskipun Tweedie (1983)
menyebutkan pernah didapatkan pada ketinggian 1.700 m dpl. Ular ini
menghuni hutan-hutan dataran rendah yang lembap, kebun dan lahan-lahan
pertanian. Tempat yang disukainya adalah yang memiliki tanah gembur atau
berlumpur, di mana ular ini dapat menyusup masuk (fossorial) untuk
mencari mangsanya. Karena itu, ular kepala-dua sering pula ditemukan di
sekitar daerah berawa-rawa dan persawahan, di bawah kayu-kayu lapuk di
hutan, di balik tumpukan serasah yang membusuk, atau di tepi sungai.
Ular ini tidak jarang dijumpai di jalan tanah, di pagi hari sesudah
hujan lebat turun pada malamnya.
Aktif
di malam hari (nokturnal), ular kepala-dua diketahui memangsa ular-ular
lain yang lebih kecil, kadal, bayi-bayi mamalia, dan cacing tanah. Juga
pernah dilaporkan memangsa sejenis sidat dan larva serangga.
Ular yang berwarna indah ini sama sekali tidak berbahaya, bahkan tidak
mau menggigit orang. Bila merasa terusik, alih-alih berlari ular
kepala-dua biasanya segera menggulung tubuhnya dan menyembunyikan
kepalanya, serta menegakkan ekornya tinggi-tinggi. Postur ekornya yang
memipih dan melengkung dengan tepat, mengingatkan kita pada rupa seekor
kobra yang sedang marah, meski berukuran lebih kecil. Namun hanya itu
saja kebisaannya. Bilamana si pengganggu tidak kena digertak, ular
inilah yang segera beringsut pergi. Tentu saja dengan kepala aslinya
lebih dahulu.
Melihat postur yang ‘mengancam’ itu, orang-orang yang tidak mengenalnya
biasanya tanpa ampun segera membunuhnya. Dan malangnya ular ini tidak
begitu lincah dan cepat untuk menghindarinya.
Ular kepala-dua bersifat ovovivipar, telurnya menetas selagi dalam kandungan, dan melahirkan sampai 13 ekor anak di satu saat.
Kerabat dan Penyebaran
Cylindrophis ruffus memiliki dua anak jenis (subspesies), yakni:
- C.r. ruffus (Laurenti, 1768), yang menyebar luas mulai dari Tiongkok dan Hainan di utara, Hong Kong, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Borneo, Jawa,Sulawesi, Kepulauan Sula, Kepulauan Sangihe, Buton, Boano dan Bacan di Maluku.
- C.r. burmanus Smith, 1943, menyebar terbatas di Myanmar.
Sedangkan jenis-jenis lain dalam marga yang sama adalah:
- Cylindrophis aruensis, di Maluku.
- Cylindrophis boulengeri
- Cylindrophis engkariensis, di Serawak.
- Cylindrophis isolepis
- Cylindrophis lineatus, di Borneo.
- Cylindrophis maculatus
- Cylindrophis melanotus
- Cylindrophis opisthorhodus
- Cylindrophis yamdena, di Maluku.
Sanca
kembang adalah sejenis ular tak berbisa yang berukuran besar. Ukuran
terbesarnya dikatakan dapat melebihi 10 meter. Lebih panjang dari
anakonda (Eunectes), ular terbesar dan terpanjang di Amerika Selatan.
Nama-nama lainnya adalah ular sanca; ular sawah; sawah-n-etem
(Simeulue); ular petola (Ambon); dan dalam bahasa Inggris reticulated
python atau kerap disingkat retics.
Identifikasi
Sanca
kembang ini mudah dikenali karena umumnya bertubuh besar. Keluarga
sanca (Pythonidae) relatif mudah dibedakan dari ular-ular lain dengan
melihat sisik-sisik dorsalnya yang lebih dari 45 deret, dan sisik-sisik
ventralnya yang lebih sempit dari lebar sisi bawah tubuhnya. Di
Indonesia barat, ada lima spesiesnya: tiga spesies bertubuh gendut
pendek yakni kelompok ular peraca (Python curtus group: P. curtus, P.
brongersmai dan P. breitensteini) di Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung
Malaya.
Dua
spesies yang lain bertubuh relatif panjang, pejal berotot: P. molurus
(sanca bodo) dan P. reticulatus. Kedua-duanya menyebar dari Asia hingga
Sunda Besar, termasuk Jawa. P. molurus memiliki pola kembangan yang
berbeda dari reticulatus, terutama dengan adanya pola V besar berwarna
gelap di atas kepalanya. Sanca kembang memiliki pola lingkaran-lingkaran
besar berbentuk jala (reticula, jala), tersusun dari warna-warna hitam,
kecoklatan, kuning dan putih di sepanjang sisi dorsal tubuhnya. Satu
garis hitam tipis berjalan di atas kepala dari moncong hingga tengkuk,
menyerupai garis tengah yang membagi dua kanan kiri kepala secara
simetris. Dan masing-masing satu garis hitam lain yang lebih tebal
berada di tiap sisi kepala, melewati mata ke belakang.
Sisik-sisik dorsal (punggung) tersusun dalam 70-80 deret; sisik-sisik
ventral (perut) sebanyak 297-332 buah, dari bawah leher hingga ke anus;
sisik subkaudal (sisi bawah ekor) 75-102 pasang. Perisai rostral (sisik
di ujung moncong) dan empat perisai supralabial (sisik-sisik di bibir
atas) terdepan memiliki lekuk lubang penghidu bahang (heat sensor pits)
yang dalam (Tweedie 1983).
Biologi dan Penyebaran
Sanca
kembang terhitung ular yang terbesar dan terpanjang di dunia. The
Guinness Book of World Records tahun 1991 mencatat sanca kembang
sepanjang 32 kaki 9.5 inci (sekitar 10 meter) sebagai ular yang
terpanjang (Murphy and Henderson 1997). Namun yang umum dijumpai adalah
ular-ular yang berukuran 5-8 meter. Sedangkan berat maksimal yang
tercatat adalah 158 kg (347.6 lbs). Ular sanca termasuk ular yang
berumur panjang, hingga lebih dari 25 tahun.
Ular-ular
betina memiliki tubuh yang lebih besar. Jika yang jantan telah mulai
kawin pada panjang tubuh sekitar 7-9 kaki, yang betina baru pada panjang
sekitar 11 kaki. Dewasa kelamin tercapai pada umur antara 2-4 tahun.
Musim kawin berlangsung antara September hingga Maret di Asia.
Berkurangnya panjang siang hari dan menurunnya suhu udara merupakan
faktor pendorong yang merangsang musim kawin. Namun demikian, musim ini
dapat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Shine et al. 1999
mendapatkan bahwa sanca kembang di sekitar Palembang, Sumatera Selatan,
bertelur antara September-Oktober; sementara di sekitar Medan, Sumatera
Utara antara bulan April-Mei.
Jantan maupun betina akan berpuasa di musim kawin, sehingga ukuran tubuh
menjadi hal yang penting di sini. Betina bahkan akan melanjutkan puasa
hingga bertelur, dan sangat mungkin juga hingga telur menetas (McCurley
1999).
Sanca kembang bertelur antara 10 hingga sekitar 100 butir. Telur-telur
ini ‘dierami’ pada suhu 88-90 °F (31-32 °C) selama 80-90 hari, bahkan
bisa lebih dari 100 hari. Ular betina akan melingkari telur-telur ini
sambil berkontraksi. Gerakan otot ini menimbulkan panas yang akan
meningkatkan suhu telur beberapa derajat di atas suhu lingkungan. Betina
akan menjaga telur-telur ini dari pemangsa hingga menetas. Namun hanya
sampai itu saja; begitu menetas, bayi-bayi ular itu ditinggalkan dan
nasibnya diserahkan ke alam.
Sanca kembang menyebar di hutan-hutan Asia Tenggara. Mulai dari Kep.
Nikobar, Burma hingga ke Indochina; ke selatan melewati Semenanjung
Malaya hingga ke Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara (hingga
Timor), Sulawesi; dan ke utara hingga Filipina (Murphy and Henderson
1997).
Sanca kembang memiliki tiga subspesies. Selain P.r. reticulatus yang
hidup menyebar luas, dua lagi adalah P.r. jampeanus yang menyebar
terbatas di Pulau Tanah Jampea dan P.r. saputrai yang menyebar terbatas
di Kepulauan Selayar. Kedua-duanya di lepas pantai selatan Sulawesi
Selatan.
Ekologi
Sanca
kembang hidup di hutan-hutan tropis yang lembap (Mattison, 1999). Ular
ini bergantung pada ketersediaan air, sehingga kerap ditemui tidak jauh
dari badan air seperti sungai, kolam dan rawa.
Makanan
utamanya adalah mamalia kecil, burung dan reptilia lain seperti biawak.
Ular yang kecil memangsa kodok, kadal dan ikan. Ular-ular berukuran
besar dilaporkan memangsa anjing, monyet, babi hutan, rusa, bahkan
manusia yang ‘tersesat’ ke tempatnya menunggu mangsa (Mattison 1999,
Murphy and Henderson 1997, Shine et al. 1999). Ular ini lebih senang
menunggu daripada aktif berburu, barangkali karena ukuran tubuhnya yang
besar menghabiskan banyak energi.
Mangsa dilumpuhkan dengan melilitnya kuat-kuat (constricting) hingga
mati kehabisan napas. Beberapa tulang di lingkar dada dan panggul
mungkin patah karenanya. Kemudian setelah mati mangsa ditelan
bulat-bulat mulai dari kepalanya.
Setelah makan, terutama setelah menelan mangsa yang besar, ular ini akan
berpuasa beberapa hari hingga beberapa bulan hingga ia lapar kembali.
Seekor sanca yang dipelihara di Regent’s Park pada tahun 1926 menolak
untuk makan selama 23 bulan, namun setelah itu ia normal kembali (Murphy
and Henderson 1997).
Sanca dan Manusia
Sanca
--terutama yang kecil-- kerap dipelihara orang karena relatif jinak dan
indah kulitnya. Pertunjukan rakyat, seperti topeng monyet, seringkali
membawa seekor sanca kembang yang telah jinak untuk dipamerkan. Sirkus
lokal juga kadang-kadang membawa sanca berukuran besar untuk dipamerkan
atau disewakan untuk diambil fotonya.
Sanca
banyak diburu orang untuk diambil kulitnya yang indah dan bermutu baik.
Lebih dari 500.000 potong kulit sanca kembang diperdagangkan setiap
tahunnya. Sebagian besar kulit-kulit ini diekspor dari Indonesia, dengan
sumber utama Sumatra dan Kalimantan. Semua adalah hasil tangkapan di
alam liar.
Jelas perburuan sanca ini sangat mengkhawatirkan karena mengurangi
populasinya di alam. Catatan dari penangkapan ular komersial di Sumatra
mendapatkan bahwa sanca kembang yang ditangkap ukurannya bervariasi
antara 1 m hingga 6 m, dengan rata-rata ukuran untuk jantan 2.5 m dan
betina antara 3.1 m (Medan) – 3.6 m (Palembang). Kira-kira sepertiga
dari betina tertangkap dalam keadaan reproduktif (Shine et al. 1999).
Hingga saat ini, ular ini belum dilindungi undang-undang. CITES
(konvensi perdagangan hidupan liar yang terancam) memasukkannya ke dalam
Apendiks II.
Ular pelangi
Ular
pelangi adalah sejenis ular yang termasuk anggota suku Xenopeltidae.
Ular ini diberi nama demikian karena lapisan transparan pada sisiknya
membiaskan warna-warni pelangi dari cahaya matahari. Dalam bahasa
Inggris disebut dengan nama sunbeam snake atau iridescent earth snake.
Sementara nama ilmiahnya adalah Xenopeltis unicolor (Schneider, 1799),
merujuk pada keistimewaan sisik-sisiknya (Xeno: aneh, ajaib; peltis:
perisai).
Pemerian
Sisi
atas tubuh (dorsal, punggung) berwarna coklat atau abu-abu kehitaman,
merata (unicolor: berwarna seragam) dan berkilauan apabila terkena
cahaya. Sisik-sisik dorsal dalam 15 deret. Deret terbawah berwarna
putih, beberapa deret berikutnya seperti warna punggung umumnya namun
dengan tepian berwarna putih. Sisi bawah tubuh (ventral) putih.
Ular
muda dengan kepala dan leher yang berwarna putih, kecuali moncongnya
yang kecoklatan. Warna putih ini berangsur-angsur menghilang bersama
dengan bertambah besarnya sang ular.
Perisai (sisik-sisik besar) di atas ubun-ubun kepala berbentuk mirip
belah ketupat. Tidak seperti kebanyakan ular, perisai parietal (pelipis)
kanan dan kiri tidak bersinggungan; melainkan terpisah oleh adanya
perlekatan perisai frontal (dahi, di antara kedua mata) dengan perisai
oksipital tengah yang berukuran besar. Keempat perisai itu berukuran
hampir sama besar, dan bersama-sama membentuk bangun belah ketupat yang
lebih besar lagi.
Panjang tubuh maksimum lebih sedikit dari satu meter, kebanyakan antara
80-90 cm. Ekornya pendek, sekitar sepersepuluh panjang tubuh atau
kurang. Sisik-sisik ventral 173-196 buah, anal (yang menutupi anus)
sepasang, dan subkaudal (di bawah ekor) 24-32 pasang.
Bio-ekologi
Ular
pelangi menghuni daerah lembap dan berawa-rawa di sekitar pantai,
sungai, persawahan, dan daerah berhutan; di dataran rendah hingga
pegunungan di ketinggian sekitar 1300 m dpl (David and Vogel, 1997).
Tidak jarang pula ditemukan di sekitar pemukiman, terutama di daerah
terbuka dan berumput-rumput yang meliar. Ular ini sering bersembunyi di
bawah kayu busuk, bebatuan, tumpukan serasah, atau menggali lubang dalam
lumpur, tidak jauh dari air.
Mangsanya
terutama terdiri dari kodok, kadal, jenis-jenis ular lain, dan mungkin
pula burung yang tinggal di atas tanah. Tweedie (1983) menyebutkan bahwa
ular pelangi yang dipelihara dalam kandang juga mau memangsa tikus.
Ular ini aktif di siang dan malam hari, meski karena pemalu jarang
terlihat di siang hari.
Berkembang biak dengan bertelur (ovipar), ular pelangi setiap kalinya
mengeluarkan hingga 17 butir telur. ular ini dapat di temukan di hampir
seluruh wilayah indonesia
Penyebaran
Ular
ini termasuk yang umum ditemukan, dan menyebar luas mulai dari India,
Tiongkok, Burma, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaya
hingga ke Filipina.
Di
Indonesia, ular pelangi ditemukan di pulau-pulau Sumatra, Simeulue,
Nias, Kep. Mentawai, Kep. Riau, Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi.
Catatan Lain-lain
Ular
pelangi termasuk golongan ular yang tidak berbahaya. Ular ini tidak
berbisa dan biasanya tidak mau menggigit ketika ditangkap. Tatkala baru
terpegang, ular pelangi kerap menggetarkan ekornya kuat-kuat. Ular ini
juga mengeluarkan cairan berbau memualkan seperti bau bawang putih yang
keras untuk mengusir musuhnya.
Ular
ini mudah jinak dan relatif gampang dipelihara. Dalam tangkaran, ular
pelangi dapat mencapai usia lebih dari 13 tahun (David and Vogel, 1997).
Mengingat kulitnya yang relatif tebal dan bermutu baik, ular pelangi
termasuk salah satu di antara sasaran para pemburu dan pedagang kulit
ular. Sayang sekali, belum ada informasi yang memadai mengenai keadaan
populasinya di alam.
Ular siput
Ular
siput (Pareas carinatus) adalah sejenis ular kecil anggota suku
Colubridae. Dinamai demikian baik karena mangsa utamanya adalah aneka
siput kecil, maupun karena gerakannya yang lamban seperti mangsanya itu.
Dalam bahasa Inggris ular ini dikenal sebagai keeled slug-snake atau
keeled slug-eating snake, merujuk pada sisik-sisik vertebralnya yang
berlunas rendah (keeled).
Pengenalan
Ular
kecil yang bertubuh ramping, cenderung kurus. Panjang tubuh total
hingga sekitar 60 cm. Coklat kusam, coklat muda atau coklat agak
kekuningan di sisi sebelah atas, dengan belang-belang hitam yang tipis
dan samar-samar di sepanjang tubuhnya, kecuali pola X memanjang berwarna
hitam tegas di atas tengkuk.Sisi bawah tubuh (ventral) kuning atau
kekuningan, dengan bintik-bintik halus gelap atau kemerahan. Kepala
menjendol besar dengan moncong tumpul agak janggal. Mata relatif besar,
dengan iris berwarna kuning kecoklatan. Ekor kurus meruncing.
Ular
ini tidak memiliki celah lurus di antara perisai-perisai[2] dagunya
(mental groove). Di antara perisai nasal (hidung) dan mata terdapat dua
buah perisai, yakni loreal dan preokular. Perisai labial (bibir) atas
7–9 buah, dipisahkan dari mata oleh 2–4 sisik kecil-kecil. Sisik-sisik
dorsal (punggung) dalam 15 deret di tengah badan, sisik-sisik vertebral
(yang paling atas, di atas tulang punggung) sedikit membesar dan
berlunas rendah. Perisai-perisai ventral (perut) berjumlah 170–184 buah;
perisai anal (dubur) tunggal; perisai subkaudal (bawah ekor) 60-88
buah, tak berpasangan.
Kebiasaan, anak jenis dan penyebaran
Aktif
di malam hari (nokturnal), ular siput biasa ditemui di hutan-hutan
dataran rendah dan hutan pegunungan yang basah, lingkungan perkebunan
hingga ke dekat permukiman. Sering memanjat vegetasi penutup tanah di
tempat-tempat lembap, ular ini memburu dan memangsa aneka siput dan
siput tak bercangkang. Tak jarang pula ular ini ditemukan menjalar
perlahan di lantai hutan dan di dekat batang air. Catatan dari Berastagi
menunjukkan bahwa ular ini didapati hingga ketinggian 1.300 m dpl. Ular
siput bertelur hingga 8 butir.
Ular
ini tidak berbisa, bahkan tak dapat menggigit manusia. Akan tetapi
perilakunya ketika merasa terancam mirip dengan ular berbisa; leher dan
tubuh bagian depan ditarik melengkung membentuk huruf S, kemudian
secepat kilat ular ini mematuk ke depan. Namun sesungguhnya mulutnya
terlampau sempit untuk membuka dan menggigit ujung jari sekalipun.
Dengan demikian sebetulnya gerakan itu hanya berfungsi untuk
menakut-nakuti si pengganggu belaka, tanpa dapat melukai sedikitpun.
Celakanya, karena perilakunya itu ular siput kerap dibunuh orang. Karena
lambannya, ular ini juga tidak jarang tergilas kendaraan ketika
menyeberang jalan atau bahkan tidur bergelung di jalan yang hangat di
waktu malam.
Pareas carinatus memiliki dua anak jenis.
- P.c. carinatus menyebar luas di Asia Tenggara, mulai dari Burma, Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, Cina selatan (Yunnan), Semenanjung Malaya, serta Indonesia (Borneo, Sumatra, Jawa, Bali, dan Lombok).
- P.c. unicolor (Bourret, 1934) terbatas di Kamboja.
Jenis yang serupa
Ular
siput belang (Pareas nuchalis) memiliki ciri-ciri, bentuk tubuh dan
perilaku yang amat serupa dengan Pareas carinatus. Keduanya sulit untuk
dibedakan, kecuali dengan menghitung jumlah sisik-sisiknya. P. nuchalis
memiliki 8-9 perisai labial atas, 207–218 perisai ventral, dan 105–108
perisai subkaudal. Ular ini ditemukan terbatas (endemik) di Borneo, di
hutan-hutan dataran rendah tidak lebih dari ketinggian 500 m dpl.
Ular-air pelangi
Ular-air
pelangi adalah sejenis ular dari suku Colubridae, anak suku
Homalopsinae. Ular ini dinamakan demikian karena warna-warni di tubuhnya
menyerupai jalur-jalur warna pada pelangi, meski biasanya tidak begitu
cerah. Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama rainbow water-snake.
Umum mengenalnya sebagai ular air, uler aer (Betawi), ulo banyu (Jawa),
dan lain-lain. Sementara nama ilmiahnya adalah Enhydris enhydris
(Schneider, 1799).
Pemerian
Ular
yang umumnya bertubuh relatif kecil sampai sedang, panjang maksimum
lebih sedikit dari 80 cm, meski kebanyakan antara 50-60 cm. Berkepala
kecil, meski sering berperut gendut, dan berekor pendek.
Punggung
(dorsal) umumnya berwarna coklat muda zaitun hingga abu-abu kehitaman,
dengan sepasang garis yang kabur batasnya, berwarna lebih terang
kecoklatan, agak jauh di sebelah menyebelah garis tulang punggungnya.
Sisi samping badan (lateral) sebelah bawah berwarna terang kekuningan
atau keputihan, dibatasi dengan garis zigzag kehitaman di sepanjang
batas dengan sisik-sisik ventral (perut). Terkadang terlihat garis warna
merah jambu agak samar di bagian terang ini, serupa dengan pola renda
memanjang. Sisi bawah tubuh (ventral) kekuningan atau keputihan,
kadang-kadang dengan bintik-bintik atau garis samar sepanjang garis
tengahnya.
Sisik-sisik dorsal tersusun dalam 21 deret. Sisik ventral 150-177 buah,
sisik anal (yang menutupi anus) sepasang/berbelah, sisik subkaudal (sisi
bawah ekor) 47-78 pasang.
Kebiasaan dan penyebaran
Bersama
dengan kerabatnya, ular lumpur E. plumbea, ular-air pelangi kerap
ditemui di saluran-saluran air, kolam-kolam ikan, lingkungan sawah, rawa
dan sungai-sungai kecil yang berarus tenang. Ular-ular ini amat gemar
memangsa ikan kecil-kecil, dan seringkali menjadi hama di kolam-kolam
pemeliharaan ikan. Mangsa lainnya adalah kodok, termasuk berudunya, dan
diperkirakan juga kadal.
E.
enhydris –seperti umumnya Homalopsinae– berbiak dengan 'melahirkan'
anaknya (ovovivipar). Yakni, telur berkembang sempurna dan menetas dalam
perut induknya, untuk kemudian keluar sebagai ular kecil-kecil. E.
enhydris melahirkan hingga 18 anak pada satu musimnya.
Di waktu pagi dan siang, ular-air pelangi kerap terlihat mengeluarkan
kepala dan sebagian badannya dari air, dan berdiam diri menyerupai
ranting kayu yang muncul dari dalam air. Ada kalanya beberapa ekor ular
muncul bersama dalam jarak yang tidak berapa jauh.
E. enhydris mudah ditangkap dengan jerat. Di desa-desa di Jawa,
anak-anak setempat biasa menangkapnya dengan berbekal jerat dari lidi
daun kelapa yang masih segar. Ular ini umumnya jinak dan tak mau
menggigit, sehingga kerap menjadi mainan anak-anak. Meski termasuk
katagori ular berbisa lemah (mildly venomous), hampir tak pernah ada
laporan mengenai kasus gigitannya.
Kebanyakan ular-ular marga Enhydris --sejauh ini telah dideskripsi 23
spesies dari marga ini, termasuk jenis ular baru E. gyii (ular-lumpur
Kapuas) yang mampu berubah warna-- menyebar lokal atau terbatas. Hanya
E. enhydris dan E. plumbea yang luas agihannya.
E. enhydris diketahui tersebar luas mulai dari Pakistan dan Nepal di
barat, India, Bangladesh, Burma, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Borneo hingga Sulawesi di timur.
Ular cecak
Ular
cecak atau sering pula disebut sebagai ular rumah adalah sejenis ular
kecil dari suku Colubridae. Dinamai demikian karena ular ini kerap
dijumpai di dalam rumah, di sekitar dapur atau almari, untuk memburu
cecak yang menjadi kegemarannya. Nama ilmiahnya adalah Lycodon capucinus
dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai common wolf-snake, merujuk
pada gigi yang memanjang menyerupai taring serigala di bagian muka
rahangnya (bahasa Gerika: lycos, serigala; don, gigi).
Pengenalan
Ular
bertubuh kecil sampai sedang yang ramping dan gesit, panjang total
maksimal mendekati 60 cm. David dan Vogel (1997) menyebutkan panjang
maksimal sekitar 550 mm, dengan kisaran ukuran hewan dewasa umumnya
antara 450–500 mm.[1]
Punggung
(dorsal) berwarna coklat atau coklat agak keunguan, dengan sebagian
sisik bertepi putih membentuk pola belang (atau jala) samar-samar
seperti bekas cat yang terhapus. Kepala berwarna coklat kurma, dengan
warna putih atau keputih-putihan di bibir atas dan di tengkuk,
kadang-kadang dengan sedikit warna kuning belerang. Perut (ventral)
berwarna putih atau kekuningan.[2]
Sisik-sisik dorsal dalam 17 deret di tengah badan dan 15 deret di dekat
ekor. Sisik-sisik ventral 178–224 buah, sisik anal sepasang atau
berbelah, sisik subkaudal (di bawah ekor) 57–80 pasang. Sisik-sisik
supralabial (bibir atas) berjumlah 9 buah, no. 3–5 atau no. 4–5
menyentuh mata. Di atas bibir, di antara sisik postnasal (hidung) dan
orbit (mata) terdapat dua buah sisik, yakni sisik loreal (pipi) dan
preokular. Sisik loreal panjang dan bersentuhan dengan sisik internasal,
preokular bersentuhan dengan perisai frontal.
Ekologi dan penyebaran
Ular
cecak sering dijumpai memasuki rumah, dapur atau bangunan lainnya,
tidak jarang pula didapati di lingkungan perkotaan. Ular yang aktif di
malam hari (nokturnal) ini lebih banyak menjalar di atas tanah
(terestrial), meski pandai pula memanjat pepohonan (arboreal), tebing
dan dinding berbatu, hingga ke atap rumah. Pada siang hari, ular cecak
lebih memilih tidur bergelung di tempat persembunyiannya di bawah
tumpukan kayu, batu, rekahan tebing, atau di sudut-sudut rumah yang
kelindungan.
Seperti
dicerminkan oleh namanya, mangsa kesukaannya adalah aneka jenis cecak;
akan tetapi ia pun tidak menolak mangsa berupa kadal atau tikus kecil.
Ular cecak menjadi dewasa ketika berumur sekitar dua tahun. Betinanya
bertelur hingga sekitar 11 butir. Ular cecak menyebar luas mulai dari
Burma di barat, Cina tenggara, hingga Hong Kong di sebelah timurnya. Ke
selatan: Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Semenanjung Malaya
hinggaSingapura. Juga Kepulauan Andaman, Maladewa, Indonesia, Filipina,
hingga ke Kepulauan Cook di Samudera Pasifik (Australia).
Di Indonesia ular ini tercatat dijumpai di Sumatra, Kalimantan, Jawa,
Bali, Sumbawa, Sumba, Komodo, Flores, Lomblen, Alor, Sawu, Roti, Timor,
Wetar, Babar, Kalao, Selayar, Buton, danSulawesi.
Catatan lain-lain
Ular
cecak agresif dan lekas menggigit apabila terganggu atau baru
ditangkap. Gigitannya lumayan menyakitkan, terutama karena adanya
‘taring’ di rahang atas maupun bawah. Walaupun demikian ular ini tidak
berbisa, sehingga luka gigitannya hanya mengakibatkan rasa pedih dan
sedikit berdarah.
Setelah
dipelihara beberapa lama dan dibiasakan, ular cecak umumnya lekas
menjadi jinak dan tidak mau menggigit. Ular ini cukup rakus, dan mampu
menghabiskan 2–3 ekor cecak dalam sehari.
Ular cecak sebelumnya dianggap sebagai anak jenis dari ular rumah
Lycodon aulicus (Linn. 1758), akan tetapi kini dipertimbangkan sebagai
jenis yang tersendiri.[6] [1] (Gr. aulicus, penghuni rumah).
Ular gadung
Ular
gadung adalah sejenis ular berbisa lemah yang tidak berbahaya dari suku
Colubridae. Secara umum, di wilayah Indonesia barat ular ini disebut
dengan nama ular pucuk. Nama-nama daerahnya di antaranya oray pucuk
(Sd.), ula gadung (Jw.), dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai Oriental whip-snake.
Disebut ular gadung karena ular ini sepintas menyerupai pucuk tanaman gadung (Dioscorea hispida) yang hijau lampai.
Pemerian
Ular
berwarna hijau, panjang dan amat ramping. Terkadang ada pula yang
berwarna coklat kekuningan atau krem atau keputihan, terutama pada hewan
muda. Panjang tubuh keseluruhan mencapai 2 m, meski kebanyakan sekitar
1,5 m atau lebih; lebih dari sepertiganya adalah ekornya yang kurus
seperti cambuk.
Kepala
panjang meruncing di moncong, jelas lebih besar daripada leher yang
kurus bulat seperti ranting hijau. Mata besar, kuning, dengan celah mata
(pupil) mendatar. Panjang moncong sekurangnya dua kali panjang mata.
Pipi dengan lekukan serupa saluran horizontal ke arah hidung,
memungkinkan mata melihat dengan pandangan stereoskopik dan
memperkirakan lokasi mangsa dengan lebih tepat.
Sisi atas tubuh (dorsal) hijau terang atau hijau agak muda, merata
hingga ke ekor yang biasanya sedikit lebih gelap. Terkadang, bila merasa
terusik, ular pucuk atau biasa disebut ular gadung pari (nama lain di
jawa tengah)akan melebarkan, memipihkan dan melipat lehernya serupa
huruf S, sehingga muncul warna peringatan berupa belang-belang putih dan
hitam pada kulit di bawah sisiknya. Sisi bawah tubuh (ventral) hijau
pucat keputihan, dengan garis tipis kuning keputihan di sepanjang tepi
bawah tubuh (ventrolateral).
Perisai (sisik-sisik besar) di bibir atas (supralabial) 8-9 buah, yang
nomor 4 sampai 6 menyentuh mata. Sisik-sisik dorsal dalam 15 deret, 13
deret di dekat ekor. Sisik-sisik ventral 189-241 buah; sisik anal
berbelah, jarang tunggal; sisik-sisik subkaudal 169-183 buah (Tweedie
1983: 154-207 buah).
Kebiasaan
Ular
yang sering terlihat atau didapati di pekarangan, kebun, semak belukar
dan hutan. Senang berada di tajuk pepohonan dan semak, ular gadung tidak
jarang terlihat menjalar di atas tanah, rerumputan, atau bahkan
menyeberangi jalan. Terkadang ular ini terlihat menjulurkan kepalanya di
antara dedaunan, dan sesekali bergoyang seolah sulur-suluran tertiup
angin.
Ular
gadung aktif di siang hari (diurnal), memburu aneka hewan yang menjadi
mangsanya; seperti kodok, cecak dan bunglon, serta aneka jenis kadal.
Bahkan juga burung kecil dan mamalia kecil.
Seperti banyak jenis ular pohon, ular gadung bersifat ovovivipar.
Telurnya menetas di dalam rahim dan keluar sebagai anak sepanjang
kurang-lebih 20 cm. Sekali beranak jumlahnya mencapai 9 ekor.
Di Sumatra, ular ini ditemui mulai dari dekat pantai hingga ketinggian 1300 m dpl.
Sub spesis
Ada empat anak jenis (subspesies) dari Ahaetulla prasina, yakni:
- A.p. prasina (Boie, 1827). Menyebar luas mulai dari India di barat, Bangladesh, ke timur hingga Tiongkok (Hong Kong), ke selatan melewati Burma, Indochina, Thailand, Semenanjung Malaya, dan Singapore. Di Indonesia menyebar di pulau-pulau Sumatra (termasuk Simeulue, Nias, Mentawai, Riau, Bangka dan Belitung), Borneo (termasuk Natuna dan Sebuku), Sulawesi (termasuk Buton, Kepulauan Sula dan Sangihe), Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Ternate.
- A.p. preocularis (Taylor, 1922), menyebar di Filipina, termasuk di Luzon, Panay dan kepulauan Sulu.
- A.p. suluensis (Gaulke, 1994), menyebar di kepulauan Sulu, Filipina.
- A.p. medioxima Lazell, 2002.
Daya bisa
Ular
gadung termasuk mudah ditangkap dan mudah dijinakkan. Ketika baru
tertangkap, biasanya ular ini lebih agresif dan mudah terprovokasi.
Memipihkan lehernya dan menampakkan warna-warna peringatannya, ular
gadung akan mencoba menggigit penangkapnya. Namun dengan penanganan yang
lemah lembut dan hati-hati, umumnya ular gadung dapat segera
ditenangkan.
Bisa
ular ini termasuk kategori menengah, dan dapat membunuh seekor burung
pipit dalam waktu beberapa menit saja. Akan tetapi sejauh ini diketahui
tidak membahayakan manusia. Dampak gigitan bervariasi mulai dari luka
gigitan kecil yang sedikit pedih, atau agak gatal, sampai ke
pembengkakan ringan disertai sedikit rasa pegal. Secara tradisional,
luka ini biasanya diolesi madu, atau diberi antiseptik seperti larutan
yodium untuk mencegah infeksi.
Ular tambang
Ular
tambang (Dendrelaphis pictus) adalah sejenis ular kecil dari suku
Colubridae. Secara umum, ular ini juga disebut dengan nama ular tali,
ular tampar atau ular tlampar (tampar atau tlampar Jw., tali). Di daerah
Toraja ular ini dinamai duwata atau ule lewora.[1] Dalam bahasa Inggris
dikenal sebagai Gmelin’s Bronzeback atau Painted Bronzeback, merujuk
pada warna-warnanya yang cemerlang (pictus, painted, = seperti lukisan).
Ular tambang menyebar luas mulai dari India sampai ke Asia Tenggara, termasuk Kepulauan Nusantara ke timur hingga sejauh Maluku.
Pengenalan
Ular
yang kurus ramping, panjang hingga sekitar 1,5 m; meskipun pada umumnya
kurang dari itu. Ekornya panjang, mencapai sepertiga dari panjang tubuh
keseluruhan.
Coklat
zaitun seperti logam perunggu di bagian punggung. Pada masing-masing
sisi tubuh bagian bawah terdapat pita tipis kuning terang keputihan,
dipisahkan dari sisik ventral (perut) yang sewarna oleh sebuah garis
hitam tipis memanjang hingga ke ekor. Kepala kecoklatan perunggu di
sebelah atas, dan kuning terang di bibir dan dagu; diantarai oleh coret
hitam mulai dari pipi yang melintasi mata dan melebar di pelipis
belakang, kemudian terpecah menjadi noktah-noktah besar dan mengabur di
leher bagian belakang. Terdapat warna-warna peringatan berupa
bintik-bintik hijau terang kebiruan di bagian leher hingga tubuh bagian
muka, yang biasanya tersembunyi di bawah sisik-sisik hitam atau perunggu
dan baru nampak jelas apabila si ular merasa terancam. Sisik-sisik
ventral putih kekuningan atau kehijauan.
Perhatikan sisik vertebralnya yang membesar
Sisik-sisik
dorsal dalam 15 deret di bagian tengah tubuh; sisik-sisik vertebral
membesar, namun tak lebih besar dari deret sisik dorsal yang pertama
(terbawah). Perisai labial 9 buah (jarang 8 atau 10), yang no 5 dan 6
(kadang-kadang juga yang no 4) menyentuh mata. Sisik-sisik ventral
167–200 buah, sisik anal sepasang, sisik-sisik subkaudal (bawah ekor)
127–164 buah.
Mata
besar, diameternya sama panjang dengan jaraknya ke lubang hidung. Anak
mata bulat hitam; perisai preokular sebuah dan postokular dua buah.
Perisai rostral lebar, terlihat dari sebelah atas; perisai internasal
sama panjang atau sedikit lebih pendek dari perisai prefrontal; perisai
frontal sama panjang dengan jaraknya ke ujung moncong, namun lebih
pendek dari perisai parietal; perisai loreal panjang. Perisai temporal
bersusun 2 + 2, 1 + 1 atau 1 + 2. Lidahnya berwarna merah.
Kebiasaan
Ular
yang hidup di pohon, namun sering pula turun ke tanah untuk memangsa
katak atau kadal yang menjadi menu utamanya. Tidak jarang terlihat
bergelung di semak-semak atau menjalar di antara rumput-rumput yang
tinggi.
Ular
tambang menghuni hutan-hutan di dataran rendah dan pegunungan hingga
ketinggian lebih dari 1350 m. Teristimewa ular ini menyukai
daerah-daerah terbuka, tepian hutan, kebun, wanatani campuran, belukar
dan tepi sawah.Sering pula ditemukan merambat di pagar tanaman di
pekarangan, dan dengan gesit dan tangkas bergerak di sela-sela daun dan
ranting untuk menghindari manusia.
UNTUK JENIS ULAR ITU MASIH BANYAK LAGI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar