Gajah merupakan hewan herbivora yang dapat ditemui di berbagai habitat, seperti sabana, hutan, gurun, dan rawa-rawa. Mereka cenderung berada di dekat air. Gajah dianggap sebagai spesies kunci karena dampaknya terhadap lingkungan. Hewan-hewan lain cenderung menjaga jarak dari gajah, dan predator-predator seperti singa, harimau. hyena, dan anjing liar biasanya hanya menyerang gajah muda. Gajah betina cenderung hidup dalam kelompok keluarga, yang terdiri dari satu betina dengan anak-anaknya atau beberapa betina yang berhubungan dengan anak-anak mereka. Kelompok ini dipimpin oleh individu gajah yang disebut matriark, yang biasanya merupakan betina tertua. Gajah memiliki struktur kelompok fisi-fusi, yaitu ketika kelompok-kelompok keluarga bertemu untuk bersosialisasi. Gajah jantan meninggalkan kelompok keluarganya ketika telah mencapai masa pubertas, dan akan tinggal sendiri atau bersama jantan lainnya. Jantan dewasa biasanya berinteraksi dengan kelompok keluarga ketika sedang mencari pasangan dan memasuki tahap peningkatan testosteron dan agresi yang disebut musth, yang membantu mereka mencapai dominasi dan keberhasilan reproduktif. Anak gajah merupakan pusat perhatian kelompok keluarga dan bergantung pada induknya selama kurang lebih tiga tahun. Gajah dapat hidup selama 70 tahun di alam bebas. Mereka berkomunikasi melalui sentuhan, penglihatan, penciuman, dan suara; gajah menggunakan infrasuara dan komunikasi seismik untuk jarak jauh. Kecerdasan gajah telah dibandingkan dengan kecerdasan primata dan cetacea. Mereka tampaknya memiliki kesadaran diri dan menunjukkan empati kepada gajah lain yang hampir atau sudah mati.
Gajah afrika digolongkan sebagai spesies yang rentan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), sementara gajah asia diklasifikasikan sebagai spesies terancam. Salah satu ancaman utama bagi gajah adalah perdagangan gading yang memicu perburuan liar. Ancaman lain adalah kehancuran habitat dan konflik dengan penduduk lokal. Gajah digunakan sebagai hewan pekerja di Asia. Dulu mereka pernah digunakan untuk perang; kini, gajah seringkali dipertontonkan di kebun binatang dan sirkus. Gajah dapat dengan mudah dikenali dan telah digambarkan dalam seni, cerita rakyat, agama, sastra, dan budaya populer.
Daftar isi
Etimologi
Dalam bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Melayu, Minangkabau, dan Aceh, hewan ini disebut "gajah". Sementara itu, gajah dikenal dengan sebutan "elephant" dalam bahasa Inggris. Kata "elephant" berasal dari bahasa Latin elephas (genitif elephantis) (yang berarti "gajah"), yang merupakan Latinisasi dari kata ἐλέφας (elephas) (genitif ἐλέφαντος (elephantos)) dalam bahasa Yunani;[1] kata tersebut kemungkinan berasal dari bahasa non-Indo-Eropa, yaitu Fenisia.[2] Kata e-re-pa dan e-re-pa-to digunakan di Yunani Mykenai dalam aksara silabis Linear B.[3][4] Seperti di Yunani Mykenai, Homer menggunakan kata tersebut untuk gading, namun setelah masa Herodotus istilah tersebut juga merujuk pada hewan gajah.[1] Pendahulu kata "elephant", yaitu olyfaunt, baru muncul dalam bahasa Inggris Pertengahan sekitar tahun 1300, dan kata tersebut dipinjam dari kata dalam bahasa Perancis Kuno, oliphant (abad ke-12).[2] Dalam bahasa Swahili, gajah disebut Ndovu atau Tembo. Gajah dijuluki hastin dalam bahasa Sansekerta,[5] sementara dalam bahasa Hindi disebut hāthī (हाथी).[6] Loxodonta, yang merupakan nama generik untuk gajah afrika, berasal dari bahasa Yunani yang berarti “gigi bersisi miring ".[7]Taksonomi
Klasifikasi, spesies, dan subspesies
Zoolog Swedia Carl Linnaeus pertama kali mendeskripsikan genus Elephas dan seekor gajah dari Sri Lanka dengan nama binomial Elephas maximus pada tahun 1758. Kemudian, pada tahun 1798, Georges Cuvier mengklasifikasikan gajah india dengan nama binomial Elephas indicus. Zoolog Belanda Coenraad Jacob Temminck mendeskripsikan gajah sumatra pada tahun 1847 dengan nama binomial Elephas sumatranus, sementara zoolog Inggris Frederick Nutter Chasen mengklasifikasikan ketiganya sebagai subspesies gajah asia pada tahun 1940.[11] Subspesies gajah asia memiliki perbedaan warna dan kadar depigmentasi. Gajah sri lanka (Elephas maximus maximus) menghuni Sri Lanka, gajah india (E. m. indicus) berasal dari daratan asia (di anak benua India dan Indochina), dan gajah sumatra (E. m. sumatranus) dapat ditemui di pulau Sumatra.[10] Salah satu subspesies yang diperdebatkan, yaitu gajah borneo, tinggal di Borneo utara dan lebih kecil dari subspesies lain. Gajah ini juga memiliki telinga yang lebih besar, ekor yang lebih panjang, dan taring yang lebih lurus dari gajah biasa. Zoolog Sri Lanka Paules Edward Pieris Deraniyagala pada tahun 1950 mendeskripsikannya dengan nama trinomial Elephas maximus borneensis, dengan menjadikan ilustrasi di National Geographic sebagai spesimen tipenya.[12] Gajah ini kemudian digolongkan sebagai E. m. indicus atau E. m. sumatranus. Analisis genetik pada tahun 2003 menunjukkan bahwa nenek moyang gajah borneo terpisah dari populasi di daratan Asia sekitar 300.000 tahun yang lalu.[13] Namun, penelitian pada tahun 2008 mengindikasikan bahwa gajah borneo tidak berasal dari pulau tersebut, namun dibawa oleh Sultan Sulu dari Jawa sebelum tahun 1521.[12]
Evolusi dan kerabat yang sudah punah
Diperkirakan terdapat lebih dari 161 anggota ordo Proboscidea dengan tiga peristiwa radiasi evolusioner. Proboscid pertama, yaitu Eritherium dan Phosphatherium dari Afrika pada masa Paleosen akhir, menjadi tanda terjadinya radiasi pertama.[30] Pada masa Eosen, terdapat Anthracobunidae dari anak benua India dan Numidotherium, Moeritherium, dan Barytherium dari Afrika. Hewan-hewan ini relatif kecil dan bersifat akuatik. Nantinya, genera seperti Phiomia dan Palaeomastodon muncul; habitat Palaeomastodon kemungkinan berada di hutan atau daerah berhutan terbuka. Keanekaragaman Proboscidea mulai berkurang pada masa Oligosen.[31] Salah satu spesies penting dari masa ini adalah Eritreum melakeghebrekristosi dari Tanduk Afrika, yang mungkin merupakan nenek moyang gajah.[32] Pada awal periode Miosen terjadi diversifikasi kedua dengan munculnya Deinotheriidae dan Mammutidae. Deinotheriidae memiliki kekerabatan dengan Barytherium dan hidup di Afrika dan Eurasia,[33] sementara Mammutidae mungkin merupakan keturunan Eritreum[32] dan menyebar ke Amerika Utara.[33]Proboscidea mengalami beberapa tren evolusi, seperti pembesaran ukuran, yang membuat banyak spesies memiliki tinggi hingga mencapai 4 m (13 ft).[39] Seperti megaherbivora lainnya, termasuk Sauropoda yang telah punah, ukuran gajah mungkin berkembang untuk memungkinkan mereka bertahan dengan memakan tumbuhan bernutrisi rendah.[40] Anggota tubuh mereka tumbuh menjadi lebih panjang dan kakinya menjadi lebih pendek dan luas. Proboscidea awal memiliki tulang rahang yang lebih panjang dan tempurung kepala yang lebih kecil, sementara Proboscidea selanjutnya memiliki tulang rahang yang lebih pendek, yang menggeser pusat gravitasi pada kepala. Tengkorak menjadi lebih besar, terutama tempurung kepala, sementara leher memendek agar lebih dapat menopang tengkorak. Pembesaran ukuran mengakibatkan munculnya belalai yang membantu menjangkau sesuatu. Jumlah gigi geraham kecil, gigi seri, dan gigi taring berkurang. Gigi geraham dan geraham kecil menjadi lebih besar dan terspesialisasi. Gigi seri kedua atas berubah menjadi taring, yang mungkin lurus, melengkung (ke atas atau ke bawah), atau berputar (tergantung spesies). Pada beberapa spesies Proboscidea, taringnya berasal dari gigi seri bawahnya.[39] Gajah masih menunjukkan beberapa karakteristik yang merupakan turunan dari nenek moyang mereka yang akuatik, seperti anatomi telinga tengah dan testis internal pada jantan.[41]
Terdapat perdebatan mengenai hubungan kekerabatan antara Mammuthus dengan Loxodonta atau Elephas. Beberapa penelitian DNA menunjukkan bahwa Mammuthus lebih berhubungan erat dengan Loxodonta,[42][43] sementara penelitian lainnya meyakini kedekatan Mammuthus dengan Elephas.[9] Namun, analisis genom mitokondrial mammoth berbulu (diurutkan tahun 2005) membuktikan bahwa Mammuthus lebih dekat dengan Elephas.[20][24][44] Bukti morfologis menunjukkan bahwa Mammuthus dan Elephas merupakan taksa saudara, sementara hasil perbandingan protein albumin dan kolagen mengindikasikan bahwa jarak kekerabatan antara ketiganya kurang lebih sama.[45] Beberapa ilmuwan meyakini bahwa embrio mammoth hasil kloning suatu saat dapat dimasukkan ke rahim gajah asia[46]
Spesies kerdil
Elephas celebensis di Sulawesi diyakini merupakan hasil dwarfisme dari Elephas planifrons. Elephas falconeri di Malta dan Sisilia (yang tingginya hanya mencapai 1 m (3 ft)) kemungkinan berevolusi dari Palaeoloxodon antiquus. Keturunan Palaeoloxodon antiquus lainnya pernah ada di Siprus. Gajah kerdil yang tidak diketahui nenek moyangnya juga pernah hidup di Kreta, Kyklades, dan Dodecanese, sementara mammoth kerdil pernah ada di Sardinia.[47] Mammoth kolumbia mengkolonisasi Kepulauan Channel California dan berevolusi menjadi mammoth pigmi (Mammuthus exilis). Tinggi spesies ini mencapai 1.2–1.8 m (4–6 ft) dan massanya kurang lebih 200–2,000 kg (440–4,410 lb). Populasi mammoth berbulu kecil pernah bertahan hidup di Pulau Wrangel, kini 87 mil di sebelah utara pesisir Siberia, hingga 4.000 tahun yang lalu.[47] Setelah ditemukan pada tahun 1993, mereka dianggap sebagai mammoth kerdil.[48] Klasifikasi ini telah ditinjau ulang dan semenjak Konferensi Mammoth Internasional Kedua pada tahun 1999, hewan-hewan tersebut tidak lagi dianggap sebagai "mammoth kerdil" yang sesungguhnya.[49]
Anatomi dan morfologi
Tengkorak gajah dapat menahan gaya yang dihasilkan oleh pengungkitan taring dan tubrukan kepala-ke-kepala. Bagian belakang tengkorak merata dan memiliki lengkungan yang melindungi otak di segala arah.[52] Di tengkorak terdapat rongga udara (sinus) yang mengurangi berat tengkorak sementara menjaga kekuatan secara keseluruhan. Rongga-rongga ini membuat bagian dalam tengkorak tampak seperti sarang madu. Tempurung kepala gajah besar dan memiliki tempat untuk melekatkan otot agar dapat menopang seluruh kepala. Rahang bawahnya padat dan berat.[50] Karena ukuran kepalanya yang besar, leher gajah relatif pendek agar dapat menopang kepala.[39] Mata gajah bergantung pada kelenjar harderian untuk menjaga kelembabannya karena gajah tidak memiliki aparat lakrimal. Membran pengelip melindungi bola mata. Penglihatan gajah sendiri dibatasi oleh lokasi dan keterbatasan pergerakan mata.[53] Gajah merupakan hewan dikromat [54] dan dapat melihat dengan baik dalam cahaya redup, namun tidak dalam cahaya terang.[55] Rata-rata suhu tubuh gajah adalah 35,9 °C (97 °F), yang serupa dengan manusia. Seperti unta, gajah dapat meningkatkan atau mengurangi suhunya untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan.[56]
Telinga
Belalai
Belalai atau proboscis adalah penggabungan hidung dengan bibir atas, walaupun pada tahap fetus bibir atas dan belalai masih terpisah.[39] Belalai gajah panjang dan terspesialisasi agar dapat dengan mudah digerakkan. Belalai memiliki kurang lebih 150.000 fasikel otot, tanpa tulang dan sedikit lemak. Terdapat dua jenis otot: superfisial (di permukaan) dan internal. Otot superfisial terbagi menjadi otot dorsal, ventral, dan lateral, sementara otot internal terbagi menjadi otot melintang dan menyebar. Otot-otot belalai terhubung dengan bukaan bertulang di tengkorak. Septum nasal terdiri dari satuan-satuan otot kecil yang membentang secara horizontal di antara lubang hidung. Tulang rawan memisahkan lubang hidung di dasarnya.[59] Sebagai hidrostat otot, belalai digerakkan dengan mengkoordinasi kontraksi otot secara tepat. Otot-otot bekerja bersama dan berlawanan satu sama lain. Saraf proboscis yang unik – yang terbentuk dari saraf maksila dan fasialis – menjalar di kedua sisi belalai.[60]Gajah afrika memiliki dua perpanjangan yang berbentuk seperti jari di ujung belalai, yang memungkinkannya untuk menjangkau dan mengangkut makanan ke mulutnya. Gajah asia hanya memiliki satu perpanjangan, dan biasanya membelit makanan dengan belalainya dan kemudian memasukkannya ke mulutnya.[10] Gajah asia lebih dapat melakukan koordinasi otot dan mampu melakukan tugas yang lebih kompleks.[59] Tanpa belalai, gajah sulit bertahan hidup,[39] walaupun dalam kasus tertentu gajah dengan belalai pendek berhasil bertahan. Seekor gajah pernah terlihat sedang memakan rumput dengan melipatkan lutut depannya, mengangkat kaki belakangnya, dan mengambil rumput dengan menggunakan bibir.[59] Gajah semak afrika dapat mengalami floppy trunk syndrome, yaitu kelumpuhan belalai yang disebabkan oleh degradasi sistem saraf tepi dan otot.[63]
Gigi
Taring
Seperti manusia yang memiliki preferensi menggunakan tangan kanan atau kiri, gajah juga memiliki preferensi dalam menggunakan taring kiri atau kanannya. Taring yang dominan biasanya tampak sudah sering digunakan karena biasanya lebih pendek dan memiliki ujung yang lebih tumpul. Pada gajah afrika, baik jantan maupun betina sama-sama memiliki taring, dan panjangnya kurang lebih sama (yaitu mencapai 3 m (10 ft)),[65] namun taring jantan cenderung lebih tebal.[66] Sementara itu, pada gajah asia, hanya jantan yang memiliki taring besar. Gajah asia betina memiliki taring yang sangat kecil, atau bahkan tidak sama sekali.[65] Ada pula gajah jantan yang tak bertaring dan biasanya dapat ditemui di Sri Lanka.[67] Panjang taring gajah asia jantan dapat menyamai taring gajah afrika, tetapi taring gajah asia biasanya lebih tipis dan ringan; taring gajah asia terbesar yang pernah diketahui memiliki panjang 3.02 m (10 ft) dan massa 39 kg (86 lb). Namun, akibat perburuan gading di Afrika,[68] and Asia[69] terjadi proses seleksi alam yang menghasilkan taring yang lebih pendek.[70]
Kulit
Gajah menggunakan lumpur untuk melindungi kulitnya dari sinar ultraviolet, walaupun kulit gajah sebenarnya sangat sensitif. Bila gajah tidak secara rutin berkubang dalam lumpur, kulitnya akan mengalami kerusakan akibat sinar matahari, gigitan serangga, dan hilangnya kelembaban. Setelah berkubang, gajah biasanya menggunakan belalainya untuk menyemburkan debu ke tubuhnya, dan debu ini akan mengering menjadi kerak pelindung. Gajah mengalami kesulitan dalam mengeluarkan panas dari kulitnya karena rasio luas permukaan terhadap volumenya yang jauh lebih rendah dari manusia. Sementara itu, beberapa gajah didapati mengangkat kaki mereka untuk memaparkan tapak kakinya ke udara.[71]
Kaki, lokomosi, dan postur
Gajah dapat bergerak ke depan atau belakang, tetapi tidak dapat berderap, melompat, atau mencongklang. Mereka hanya memiliki dua gaya berjalan di darat, yaitu berjalan biasa dan berjalan cepat.[72] Saat berjalan, tungkai berperan sebagai pendulum, dengan pinggul dan bahu yang naik dan turun sementara kaki berada di tanah. Tanpa “fase aerial”, gaya berjalan yang cepat tidak memenuhi kriteria “berlari”, walaupun gajah menggunakan kakinya seperti hewan pelari lainnya, dengan pinggul dan bahu yang turun dan kemudian naik sementara kaki berada di tanah.[76] Saat sedang bergerak cepat, kaki depan gajah tampak “berlari”, sementara kaki belakangnya tampak “berjalan” dengan kaki belakang; laju gajah yang bergerak cepat sendiri dapat mencapai 18 km/h (11 mph).[77] Dengan laju seperti ini, sebagian besar hewan berkaki empat lainnya akan mencongklang. Kinetika yang seperti pegas merupakan perbedaan antara pergerakan gajah dengan hewan lain.[78] Selama lokomosi, cushion pads (struktur khusus pada kaki gajah yang membantu menopang beban) berkontraksi dan mengurangi rasa sakit dan bunyi yang dihasilkan oleh pergerakan hewan yang sangat berat.[73] Gajah juga merupakan perenang yang handal. Mereka dapat berenang selama enam jam tanpa menyentuh dasarnya, dan dapat berenang sejauh 48 km (30 mi) dengan kecepatan 2.1 km/h (1 mph).[79]
Organ internal dan seksual
Gajah memiliki kantong di tenggorokan yang dapat digunakan untuk menyimpan air.[39] Sementara itu, massa jantung gajah kurang lebih 12–21 kg (26–46 lb). Jantung gajah memiliki apeks berujung ganda, yang merupakan karakteristik yang tidak biasa pada mamalia.[56] Saat berdiri, jantung gajah berdetak 30 kali per menit. Tidak seperti hewan lain, detak jantung gajah bertambah 8 hingga 10 kali per menit ketika sedang berbaring.[80] Diafragma gajah melekat pada paru-paru, dan pernapasan lebih bergantung pada diafragma daripada perluasan tulang rusuk.[56] Gajah tidak memiliki rongga pleura, tetapi memiliki jaringan ikat yang membantu gajah menghadapi perbedaan tekanan saat tubuhnya berada di bawah air dan ketika belalainya keluar dari permukaan air untuk menghisap udara,[41] walaupun kebenaran penjelasan ini telah dipertanyakan.[81] Menurut penjelasan lain, adaptasi ini ada karena membantu gajah menghisap air melalui belalai.[41] Gajah menghisap udara dengan menggunakan belalainya, walaupun sebagian udara juga masuk melalui mulut. Gajah juga memiliki sistem fermentasi hindgut, dan panjang ususnya dapat mencapai 35 m (115 ft). Sebagian besar asupan makanan gajah tidak dicerna meskipun prosesnya berlangsung hingga sehari.[56]
Testis gajah jantan terletak di dekat ginjal. Panjang penis gajah dapat mencapai 100 cm (39 in) dan diameternya kurang lebih 16 cm (6 in). Penis gajah berbentuk S saat sedang ereksi dan memiliki lubang uretral eksternal yang berbentuk Y. Gajah betina memiliki klitoris yang panjangnya dapat mencapai 40 cm (16 in). Vulvanya terletak di antara kaki belakang, sementara pada kebanyakan mamalia vulva terletak di dekat etor. Penentuan status kehamilan gajah sendiri cukup sulit karena rongga abdominal gajah yang besar. Sementara itu, kelenjar susu gajah betina menempati ruang di antara kaki depan, sehingga bayi gajah yang sedang menyusui dapat dijangkai oleh belalai sanga induk.[56] Gajah juga memiliki organ yang unik, yaitu kelenjar temporal, yang terletak di kedua sisi kepala. Organ ini terkait dengan perilaku seksual, dan gajah jantan mengeluarkan cairan dari kelenjar tersebut dalam keadaan musth.[82] Gajah betina juga didapati mengeluarkan cairan dari kelenjar temporal.[61]
Perilaku dan sejarah kehidupan
Ekologi dan aktivitas
Karena memiliki ukuran tubuh yang besar, gajah berdampak besar terhadap lingkungan dan dianggap sebagai spesies kunci. Perilaku gajah yang sering menumbangkan pohon dan semak dapat mengubah sabana menjadi padang rumput; saat mereka menggali untuk mencari air selama musim kemarau, mereka menemukan sumber air yang juga dapat digunakan oleh hewan lain. Mereka dapat memperbesar sumber air ketika mereka sedang mandi. Di Gunung Elgon, gajah menggali gua yang dapat digunakan oleh ungulata, hyrax, kelelawar, burung dan serangga.[88] Gajah juga berperan penting dalam menyebarkan biji; gajah hutan afrika dapat menelan dan mengeluarkan biji tanpa berdampak apa-apa (atau malah memberikan pengaruh positif) terhadap proses perkecambahan. Biji biasanya disebarkan dalam jumlah besar di jarak yang jauh.[89] Di hutan Asia, biji-biji yang besar perlu diangkut dan disebarkan oleh herbivora besar seperti gajah dan badak. Relung ekologi ini tidak dapat diisi oleh herbivora terbesar berikutnya, yaitu tapir.[90] Sebagian besar makanan yang diasup oleh gajah tidak dicerna, sehingga kotoran mereka dapat menjadi makanan bagi hewan lain, seperti kumbang kotoran dan monyet.[88] Gajah juga berdampak buruk terhadap ekosistem. Di Taman Nasional Murchison Falls di Uganda, jumlah gajah yang terlalu besar mengancam beberapa spesies burung kecil yang bergantung pada daerah berhutan. Berat mereka dapat mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga air hujan akan mengalami pelimpasan yang dapat menyebabkan erosi.[84]
Organisasi sosial
Kehidupan sosial gajah betina tidak hanya terbatas pada satuan keluarga yang kecil. Di Taman Nasional Amboseli, Kenya, gajah betina juga berinteraksi dengan keluarga, klan, dan subpopulasi lain. Kelompok keluarga dapat bergaul dan membuat ikatan dengan kelompok lain, sehingga membentuk kelompok ikatan. Kelompok ikatan biasanya terdiri dari dua kelompok keluarga. Pada musim kemarau, keluarga-keluarga gajah mungkin berkumpul dan membentuk klan. Kelompok-kelompok dalam klan ini tidak memiliki ikatan yang kuat, tetapi mereka mempertahankan wilayah musim kemarau mereka dari klan lain. Biasanya terdapat sembilan kelompok di dalam satu klan. Populasi gajah di Amboseli juga terbagi menjadi subpopulasi “pusat” dan “tepian”.[94]
Beberapa populasi gajah di India dan Sri Lanka juga memiliki organisasi sosial yang serupa. Di wilayah tersebut tampaknya terdapat satuan keluarga yang kohesif dan perkumpulan yang lebih longgar. Mereka memiliki “satuan perawatan” dan “satuan pengurusan anak”. Di India selatan, populasi gajah terdiri dari kelompok keluarga, kelompok ikatan, dan mungkin klan. Kelompok keluarga cenderung kecil dan terdiri dari satu atau dua betina dewasa dan anaknya. Kelompok yang memiliki lebih dari dua betina dewasa disebut “kelompok gabungan”. Populasi gajah di Malaya bahkan memiliki satuan keluarga yang lebih kecil, dan biasanya tidak memiliki organisasi sosial yang lebih tinggi tingkatannya dari keluarga atau kelompok ikatan. Sementara itu, kelompok gajah hutan afrika umumnya terdiri dari satu betina dewasa dengan satu hingga tiga anak. Kelompok ini tampak berinteraksi dengan kelompok lain, terutama di tanah terbuka.[94]
Perilaku seksual
Musth
Gajah jantan akan menjadi sangat agresif selama mengalami musth. Di antara gajah jantan yang sedang dan tidak sedang mengalami musth, besar tubuh merupakan faktor yang menentukan terjadinya perjumpaan yang agonistik. Saat terjadi perkelahian antara individu dari dua kelompok, gajah jantan yang sedang mengalami musth biasanya menang, bahkan bila gajah yang sedang tidak mengalami musth lebih besar. Gajah jantan mungkin akan berhenti menunjukkan tanda-tanda musth bila bertemu dengan gajah yang sedang mengalami musth dari peringkat yang lebih tinggi. Gajah yang sedang mengalami musth dari peringkat yang sama cenderung menghindari satu sama lain. Dalam perjumpaan agonistik, gajah yang mengalami musth biasanya mengancam, mengejar, dan melakukan perkelahian ringan dengan menggunakan taring. Namun, perkelahian yang serius jarang terjadi.[100]
Perkawinan
Gajah jantan memiliki perilaku yang disebut “menjaga pasangan”, yaitu ketika mereka mengikuti betina yang sedang mengalami siklus estrus dan menjaganya dari jantan lain. Hal ini biasanya dilakukan oleh jantan yang sedang mengalami musth, dan betina secara aktif berupaya agar dijaga oleh mereka, terutama yang lebih tua.[105] Maka jantan yang lebih tua cenderung lebih berhasil secara reproduktif.[98] Musth tampaknya digunakan oleh gajah betina untuk mengetahui keadaan sang jantan, karena gajah jantan yang lemah atau terluka tidak memiliki musth yang normal.[106] Bagi betina muda, mendekatnya jantan yang lebih tua tampak mengintimidasi, sehingga kerabat-kerabatnya berada di dekatnya untuk memberi dukungan dan menentramkan.[107] Selama kopulasi, gajah jantan meletakkan belalainya di punggung betina.[108] Penis gajah sangat gesit dan dapat bergerak bebas.[109] Sebelum bersanggama, penis gajah melengkung ke depan dan ke atas. Kopulasi berlangsung selama sekitar 45 detik tanpa gerakan pinggul atau jeda ejakulasi.[110]
Perilaku homoseksual banyak ditemui pada gajah jantan maupun betina; bahkan menurut perkiraan, 45% perjumpaan seksual pada gajah asia di penangkaran merupakan perjumpaan sesama jenis.[111] Perilaku homoseksual pada gajah meliputi persetubuhan seperti pada interaksi heteroseksual.[111] Gajah jantan sering membentuk "kawanan" yang terdiri dari seekor individu yang lebih tua dan satu atau kadang dua jantan yang lebih muda, dan perilaku seksual merupakan unsur penting dalam dinamika sosial kawanan tersebut.[111] Tidak seperti hubungan heteroseksual yang berlangsung cepat, hubungan antara jantan dapat berlangsung selama bertahun-tahun.[111] Seperti pada perjumpaan heteroseksual, jantan menunjukkan keinginannya untuk bersanggama dengan meletakkan belalainya di punggung jantan lain.[111] Sementara itu, perilaku sesama jenis pada gajah betina telah didokumentasi di penangkaran ketika mereka memasturbasi satu sama lain dengan menggunakan belalai mereka.[111]
Kelahiran dan anak gajah
Pada hari-hari pertama, kaki gajah yang baru lahir masih goyah dan perlu dibantu oleh induknya. Gajah yang baru lahir bergantung pada sentuhan, penciuman, dan pendengaran, karena penglihatannya masih buruk. Kontrol terhadap belalai masih lemah, sehingga belalai bergerak maju mundur dan akibatnya dapat tersandung. Pada minggu kedua, anak gajah dapat berjalan lebih tegap dan kontrol terhadap belalai lebih kuat. Setelah melewati bulan pertamanya, anak gajah dapat mengambil, memegang, dan menempatkan benda di mulutnya, namun belum dapat menghisap air melalui belalainya dan harus minum langsung dari mulutnya. Anak gajah juga masih bergantung pada induknya dan tetap berada di dekatnya.[114]
Pada tiga bulan pertama, asupan nutrisi gajah hanya berasal dari air susu induk. Setelah itu, gajah mulai mencari tumbuh-tumbuhan dan dapat menggunakan belalainya untuk mengumpulkan air. Pada saat yang sama, koordinasi mulut dan kaki membaik. Anak gajah masih menyusu hingga berumur enam bulan, dan setelah itu mereka menjadi lebih independen. Pada umur sembilan bulan, koordinasi mulut, belalai, dan kaki sudah sempurna. Setelah setahun, kemampuan anak gajah untuk mengurus, minum dan makan sendiri sudah berkembang sepenuhnya. Sang anak masih memerlukan nutrisi dan perlindungan dari ibunya selama paling tidak satu tahun berikutnya. Menyusui biasanya berlangsung selama 2-4 menit per jam untuk anak gajah yang berusia lebih muda dari setahun, dan gajah masih menyusui hingga mencapai usia tiga tahun atau lebih tua. Menyusui setelah umur dua tahun berperan dalam mempertahankan tingkat pertumbuhan, keadaan tubuh, dan kemampuan reproduksi.[114] Terdapat perbedaan antara permainan anak gajah jantan dan betina; betina berlari atau mengejar satu sama lain, sementara jantan bermain-main dengan berkelahi. Gajah betina mencapai kematangan seksual pada umur sembilan tahun,[107] sementara gajah jantan pada usia 14–15 tahun.[98] Jangka hidup gajah kurang lebih 60–70 tahun.[64] Namun, Lin Wang, seekor gajah asia di penangkaran, meninggal pada umur 86 tahun.[116]
Komunikasi
Gajah menunjukkan ancaman dengan mengangkat kepalanya dan membentangkan telinganya. Mereka juga dapat menambah efeknya dengan menggoncangkan kepala, menggertakan telinga, serta melempar debu dan tumbuhan. Saat melakukan hal-hal tersebut, gajah biasanya hanya menggertak saja. Di sisi lain, gajah yang senang biasanya mengangkat belalainya. Gajah yang tunduk akan menundukkan kepala dan belalainya, serta meratakan telinganya di lehernya, sementara gajah yang menerima tantangan akan membuat telinganya berbentuk V.[118]
Gajah menghasilkan suara melalui laring, walaupun beberapa dimodifikasi oleh belalai. Salah satu suara gajah yang paling dikenal adalah suara terompet yang biasanya dibunyikan saat sedang senang, dalam keadaan sulit, atau agresif.[119] Gajah yang sedang bertengkar biasanya meraung, dan yang terluka akan melenguh.[120] Bunyi berfrekuensi rendah dihasilkan saat sedang sedikit bergairah,[121] dan beberapa di antaranya merupakan infrasuara.[122] Panggilan infrasuara merupakan cara berkomunikasi yang penting, terutama untuk jarak jauh.[119] Frekuensi panggilan infrasuara pada gajah asia berkisar antara 14–24 Hz dengan tekanan suara sebesar 85–90 dB yang biasanya berlangsung selama 10–15 detik.[122] Sementara itu, frekuensi pada gajah afrika kurang lebih from 15–35 Hz dengan tekanan suara yang mencapai 117 dB, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan jarak maksimum 10 km (6 mi).[123]
Gajah juga dapat melakukan komunikasi seismik, yaitu getaran yang dihasilkan oleh tubrukan ke permukaan tanah atau gelombang akustik yang melintasi tanah. Gajah tampaknya bergantung pada tulang kaki dan pundaknya untuk mentransmisikan sinyal ke telinga tengah. Setelah mendeteksi sinyal seismik, gajah bersandar ke depan dan memberatkan kaki depannya. Gajah memiliki beberapa adaptasi yang cocok untuk melakukan komunikasi seismik. Struktur khusus pada kaki gajah yang membantu menopang beban (cushion pads) memiliki nodus tulang rawan dan serupa dengan lemak akustik pada mamalia laut seperti paus bergigi dan sirenia. Otot seperti sphincter di sekitar saluran telinga menyempitkan jalur masuk, sehingga meredam sinyal akustik dan membuat gajah dapat mendengar lebih banyak sinyal seismik.[124] Gajah tampaknya menggunakan seismik untuk beberapa hal. Individu yang sedang berlari dapat menghasilkan sinyal seismik yang dapat didengar pada jarak yang jauh.[125] Saat mendeteksi panggilan yang memberi tahu bahaya predator, gajah akan berpostur defensif dan kelompok keluarga akan bergerombol. Gelombang seismik yang dihasilkan melalui lokomosi merambat dengan kecepatan hingga 32 km (20 mi), sementara kecepatan gelombang hasil vokalisasi hanya 16 km (10 mi).[126]
Kecerdasan dan kognisi
Ilmuwan masih memperdebatkan sejauh mana gajah dapat merasakan emosi. Gajah tampaknya menunjukkan ketertarikan pada tulang-tulang gajah lain, walaupun gajah tersebut bukan kerabatnya.[130] Seperti pada simpanse dan lumba-lumba, gajah yang sekarat atau sudah mati akan menarik perhatian dan mendapat bantuan dari gajah lain, termasuk gajah dari kelompok lain. Perilaku seperti ini telah diinterpretasikan sebagai "perhatian";[131] namun, interpretasi tersebut dikritik karena dianggap antropomorfik.[132][133] Oxford Companion to Animal Behaviour (1987) menganjurkan agar ilmuwan mempelajari perilaku hewan daripada mencoba mengetahui emosi yang mendasarinya.[134]
Konservasi
Status
Gajah afrika didaftarkan sebagai spesies yang rentan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2008, sementara status dua subspesies gajah afrika tidak dinilai secara independen.[26] Pada tahun 1979, terdapat kurang lebih 1,3 juta gajah di Afrika, dan batasan populasi sebesar 3,0 juta. Sementara itu, populasi pada tahun 1989 diperkirakan sebesar 609.000, dengan 277.000 di Afrika Tengah, 110.000 di Afrika Timur, 204.000 di Afrika Selatan, dan 19.000 di Afrika Barat. Diperkirakan sekitar 214.000 gajah hidup di hutan hujan, yang lebih rendah dari yang diduga sebelumnya. Dari tahun 1977 hingga 1989, populasi gajah berkurang sebanyak 74% di Afrika Timur. Setelah tahun 1987, penurunan populasi gajah semakin cepat, dan populasi gajah di sabana dari Kamerun hingga Somalia jatuh sebesar 80%. Gajah hutan afrika mengalami penurunan sebesar 43%. Di sisi lain, tren populasi di Afrika Selatan bermacam-macam: di beberapa tempat di Zambia, Mozambik, dan Angola, jumlah populasi mengalami penurunan, sementara di Botswana dan Zimbabwe, populasi gajah bertambah, dan di Afrika Selatan populasinya stabil.[135] Namun, penelitian pada tahun 2005 dan 2007 menunjukkan bahwa populasi di Afrika Timur dan Selatan mengalami peningkatan sebesar 4,0% setiap tahunnya.[26] Akibat luasnya persebaran gajah, populasi gajah afrika masih sulit diperkirakan dan terdapat unsur tebakan. IUCN memperkirakan terdapat sekitar 440.000 individu pada tahun 2012.[136]Gajah afrika memperoleh perlindungan secara hukum di negara habitat mereka, tetapi 70% persebarannya berada di luar wilayah yang dilindung. Upaya konservasi yang berhasil di beberapa wilayah menghasilkan kepadatan populasi yang tinggi. Pada tahun 2008, jumlah lokal dikontrol melalui kontrasepsi atau translokasi. Pembantaian berdasarkan kriteria tertentu (culling) berakhir pada tahun 1988 setelah Zimbabwe menghentikan praktik tersebut. Pada tahun 1989, gajah afrika dimasukan dalam Apendiks I oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), sehingga perdagangan gajah afrika menjadi ilegal. Status Apendiks II (yang memperbolehkan perdagangan terbatas) diberikan kepada gajah di Botswana, Namibia, dan Zimbabwe pada tahun 1997, dan Afrika Selatan pada tahun 2000. Di beberapa negara, perburuan gajah untuk memperoleh trofi diperbolehkan; Afrika Selatan, Botswana, Gabon, Kamerun, Mozambik, Namibia, Tanzania, Zambia, dan Zimbabwe menetapkan kuota ekspor CITES untuk trofi gajah.[26]
Pada tahun 2008, IUCN mendaftarkan gajah asia sebagai spesies terancam karena penurunan populasi sebesar 50% dalam 60–75 tahun terakhir,[137] sementara CITES memasukannya ke dalam Apendiks I.[137] Gajah asia pernah tersebar dari Suriah dan Irak (subspesies Elephas maximus asurus) hingga Tiongkok (hingga Sungai Kuning)[138] dan Jawa. Gajah asia kini telah punah di wilayah-wilayah tersebut,[137] dan persebarannya saat ini sangat terpecah.[138] Jumlah populasi gajah asia diperkirakan sebesar 40.000–50.000, walaupun perkiraan ini merupakan perkiraan kasar. Meskipun jumlah gajah asia secara keseluruhan mengalami penurunan (terutama di Asia Tenggara), populasi di Ghat Barat tampaknya mengalami peningkatan.[137]
Ancaman
Berkat larangan ini, populasi gajah di Afrika mulai pulih.[139] Pada Januari 2012, ratusan gajah di Taman Nasional Bouba Njida, Kamerun, dibunuh oleh penyerang dari Chad. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai "salah satu pembunuhan terkonsentrasi terburuk" semenjak diberlakukannya larangan perdagangan gading.[140] Sementara itu, gajah asia tidak terlalu rentan terhadap perdagangan gading karena gajah betina umumnya tidak memiliki taring. Namun, sejumlah gajah telah dibunuh untuk diambil gadingnya di beberapa wilayah, seperti di Taman Nasional Periyar di India.[137]
Ancaman lain terhadap gajah adalah kehancuran dan fragmentasi habitat.[26] Gajah asia hidup di wilayah yang sangat padat. Karena mereka membutuhkan lebih banyak wilayah dibanding hewan darat simpatrik lainnya, merekalah yang pertama kali merasakan dampak keberadaan manusia. Bahkan dalam beberapa kasus yang ekstrem, habitat gajah terbatas pada hutan kecil yang dikelilingi oleh wilayah yang didominasi oleh manusia. Gajah tidak dapat hidup berdampingan dengan manusia di wilayah pertanian karena besar tubuh dan kebutuhan makanan mereka. Pada umumnya gajah merusak dan memakan tanaman petani, sehingga memicu konflik dengan manusia, dan akibatnya ratusan gajah dan manusia telah mati. Mitigasi konflik merupakan salah satu unsur penting dalam konservasi.[137] Salah satu usulan yang diajukan adalah penyediaan ‘koridor urban’ yang memungkinkan gajah mengakses wilayah penting.[141]
Gajah dan manusia
Hewan pekerja
Peperangan
Salah satu sumber pertama yang menyebut penggunaan gajah dalam perang adalah epos Mahabharata (ditulis pada abad ke-4 SM, tetapi diduga mendeskripsikan peristiwa antara abad ke-11 hingga abad ke-8 SM). Namun, Pandawa dan Kurawa lebih banyak menggunakan kereta kuda. Sementara itu, pada masa Kerajaan Magadha (yang dimulai pada abad ke-6 SM), secara budaya gajah mulai menjadi lebih penting dari kuda, dan nantinya kerajaan-kerajaan di India banyak menggunakan gajah; 3.000 gajah digunakan oleh tentara Nanda pada abad ke-5 dan abad ke-4 SM, sementara 9.000 gajah dipakai oleh tentara Maurya antara abad ke-4 hingga abad ke-2 SM. Arthashastra (ditulis sekitar tahun 300 SM) menyarankan kepada pemerintah Maurya agar mencagarkan beberapa hutan untuk gajah liar yang kemudian akan digunakan dalam angkatan bersenjata; buku tersebut juga agar hukuman mati diberlakukan bagi siapapun yang membunuh gajah di cagar tersebut.[150] Penggunaan gajah dalam perang menyebar dari Asia Selatan ke Persia[149] dan Asia Tenggara.[151] Bangsa Persia mulai menggunakannya pada masa Kekaisaran Akhemeniyah (antara abad ke-6 hingga abad ke-4 SM),[149] sementara negara-negara di Asia Tenggara kemungkinan menggunakan gajah perang untuk pertama kalinya pada abad ke-5 SM dan berlanjut hingga abad ke-20.[151]
Aleksander Agung melatih tentaranya untuk melukai gajah dan membuat mereka panik selama peperangan melawan Persia dan India. Ptolemaios, yang merupakan salah satu jenderal Aleksander, menggunakan gajah perang asia selama masa kekuasannya di Mesir (yang dimulai pada tahun 323 SM). Penerusnya, Ptolemaios II (yang mulai berkuasa pada tahun 285 SM), memperoleh persediaan gajah perang dari Nubia. Semenjak itu, gajah perang digunakan di wilayah Laut Tengah dan Afrika Utara pada periode klasik. Raja Yunani Pyrrhos menggunakan gajah saat menyerang Romawi pada tahun 280 SM. Meskipun mampu membuat takut kuda-kuda Romawi, gajah tidak berperan penting dan Pyrrhos pada akhirnya mengalami kekalahan. Jenderal Qart Hadast Hannibal menyeberangi Pegunungan Alpen dengan gajah-gajahnya selama perang melawan Romawi dan berhasil mencapai lembah Po pada tahun 217 SM, tetapi kemudian banyak gajah yang mati karena penyakit.[149]
Kebun binatang dan sirkus
Penggunaan gajah di sirkus juga menuai kontroversi; Humane Society of the United States menuduh sirkus melakukan penganiayaan dan membuat sengsara hewan-hewan mereka.[157] Berdasarkan kesaksian di pengadilan federal Amerika Serikat pada tahun 2009, CEO Sirkus Barnum & Bailey Circus Kenneth Feld mengakui bahwa gajah sirkus dipukul dengan menggunakan pecutan berujung logam di belakang telinga, di bawah dagu, dan di kaki. Feld menyatakan bahwa hal tersebut penting untuk melindungi pekerja sirkus dan mengakui bahwa seorang pelatih gajah ditegur karena menggunakan alat kejut listrik pada gajah. Walaupun begitu, ia menentang klaim bahwa praktik tersebut melukai gajah.[158] Beberapa pelatih mencoba melatih gajah tanpa menggunakan hukuman fisik. Ralph Helfer dikenal karena menggunakan kelemahlembutan dan pahala saat melatih hewan-hewannya, termasuk gajah dan singa.[159]
Penularan penyakit
Seperti mamalia-mamalia lainnya, gajah dapat mengidap menyakit dan menularinya ke manusia, seperti tuberkulosis. Pada tahun 2012, dua gajah di Kebun Binatang Tete d’Or, Lyon, didiagnosis mengidap tuberkulosis. Karena berisiko menularinya ke hewan lain dan pengunjung kebun binatang, pemerintah kota memerintahkan agar gajah-gajah tersebut dieutanasia, tetapi pengadilan nantinya membatalkan keputusan ini.[160] Di cagar gajah di Tennessee, seekor gajah afrika yang berusia 54 tahun diyakini merupakan penyebab infeksi tuberkulosis pada delapan pekerja.[161]Serangan
Gajah dapat menunjukkan perilaku agresif dan melancarkan tindakan yang destruktif terhadap manusia.[162] Di Afrika, kelompok gajah remaja menghancurkan rumah-rumah di desa-desa setelah dilakukannya pembantaian gajah pada tahun 1970-an dan 1980-an. Serangan ini diyakini merupakan pembalasan dendam.[99][163] Di India, gajah jantan seringkali memasuki desa pada malam hari, sehingga menghancurkan rumah-rumah dan membunuh beberapa warga. Antara tahun 2000 hingga 2004, gajah menewaskan sekitar 300 orang di Jharkhand, sementara dari tahun 2001 hingga 2006, 239 orang di Assam dibunuh oleh gajah.[162] Penduduk setempat melaporkan bahwa beberapa gajah tampak mabuk selama terjadinya serangan, walaupun para pejabat meragukan hal ini.[164][165] Gajah yang diduga mabuk menyerang sebuah desa di India untuk kedua kalinya pada Desember 2002, sehingga menewaskan enam orang, yang kemudian dibalas oleh warga dengan membunuh 200 gajah.[166]Penggambaran dalam budaya
Dalam budaya populer Barat, gajah merupakan lambang eksotik, terutama karena tidak ada hewan sejenis yang akrab dikenal oleh penonton di Barat (sama seperti jerapah, kuda nil, dan badak).[177] Penggunaan gajah sebagai lambang Partai Republikan Amerika Serikat dimulai setelah digambarnya kartun pada tahun 1874 oleh Thomas Nast.[178] Gajah juga dijadikan tokoh dalam cerita, terutama dalam cerita untuk anak-anak, yang menggambarkan gajah sebagai tokoh dengan perilaku yang patut dicontoh. Mereka biasanya menjadi penganti manusia dengan nilai-nilai manusia yang ideal. Banyak kisah yang menceritakan gajah muda yang kembali ke komunitas yang berhubungan erat, seperti kisah "The Elephant's Child" dari Just So Stories karya Rudyard Kipling, kisah Dumbo oleh The Walt Disney Company, dan The Saggy Baggy Elephant oleh Kathryn and Byron Jackson. Pahlawan gajah lain meliputi Babar oleh Jean de Brunhoff, Elmer oleh David McKee, dan Horton oleh Dr. Seuss.[177]
Beberapa referensi budaya menekankan besar tubuh dan keunikan eksotik gajah. Contohnya, dalam bahasa Inggris, istilah "white elephant" (gajah putih) merupakan istilah untuk sesuatu yang mahal, tidak berguna, dan aneh.[177] Ungkapan "elephant in the room" (gajah di dalam ruangan) merujuk kepada kebenaran yang begitu jelas tetapi diabaikan.[179] Dalam bahasa Indonesia, peribahasa yang mirip dengan ungkapan tersebut adalah "gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat", yang berarti kesalahan sendiri tidak terlihat tetapi kesalahan orang lain terlihat jelas.[180] Sementara itu, kisah orang buta dan seekor gajah mengajarkan bahwa realita dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda.[181]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar